Monday, May 22, 2017

Overall Equipment Effectiveness


Overall equipment effectiveness (OEE) adalah istilah yang ditemukan oleh Seiichi Nakajima untuk mengevaluasi seberapa efektifnya operasional suatu peralatan.

OEE adalah nilai efektifitas suatu peralatan pada proses produksi dalam rentang waktu tertentu. Contoh sederhananya adalah sebuah genset listrik dengan kemampuan produksi 1 kW dengan catatan operasi selama sehari sebagai berikut :
  • 00:00 - 05:00 = tidak beroperasi 0 kW
  • 05:00 - 07:00 = beroperasi penuh 1 kW
  • 07:00 - 08:00 = beroperasi 0.5 kW
  • 08:00 - 15:00 = tidak beroperasi 0 kW
  • 15:00 - 17:00 = beroperasi 0.5 kW
  • 17:00 - 21:00 = beroperasi 1 kW
  • 21:00 - 24:00 = tidak beroperasi 0 kW
Dalam 1 hari (24 jam), genset tersebut memiliki kesempatan produksi sebanyak 1 kW x 24 jam yaitu 24 kWh. Pada kenyataannya genset listrik tersebut dalam sehari memproduksi listrik sebesar := (2 jam x 1 kW) + (1 jam x 0.5 kW) + (2 jam x 0.5 kW) + (4 jam x 1 kW)
= 7.5 kWh

Jadi dalam 24 jam nilai OEE genset tersebut adalah 7.5 / 24 * 100% = 31.25%.

Perhitungan OEE diatas akan dikembangkan sehingga OEE dapat menggambarkan 3 parameter yaitu availability, performance dan quality dari peralatan.

Secara rumus OEE = availability * performance * quality

Availability
Availability adalah kondisi kesiapan peralatan untuk beroperasi dalam suatu rentang waktu tertentu diluar kondisi shutdown/pemeliharaan yang sudah terencana.
Pada contoh di atas lamanya waktu operasi dibagi total waktu dalam sehari, sehingga 9 jam / 24 jam * 100%= 37.5%.

Performance
Performance identik dengan laju produksi suatu peralatan. Performance dihitung dari jumlah produksi aktual dibandingkan dengan jumlah produksi maksimal sepanjang peralatan tersebut tersedia.
Pada contoh di atas, genset beroperasi selama 9 jam dan kapasitas 1 kW. Total kemampuan produksinya adalah 9 jam * 1 kW = 9 kWh, tetapi kenyataannya dalam waktu 9 jam tersebut genset memproduksi 7.5 kWh, sehingga performancenya adalah 7.5 kWh / 9 kWh * 100% = 83.33%.

Quality 
Quality adalah mutu dari produk yang dihasilkan terhadap standar mutu yang ada. Produk yang tidak sesuai mutunya makan akan dibuang sehingga mengurangi jumlah produk yang layak dijual.
Pada contoh diatas qualitynya adalah 100% karena produknya berupa energi listrik, yang  seluruh hasilnya digunakan. 


Berdasarkan rumus OEE, maka OEE hasil perhitungan individu adalah
OEE = availability * performance * quality
OEE = 37.5 %* 83.33 % * 100 %
OEE = 31.25 %

Demikian penjelasan singkat tentang OEE, jika ada kesempatan akan saya tambahkan contoh yang lebih kompleks.


Reference :
https://en.wikipedia.org/wiki/Overall_equipment_effectiveness
http://www.oee.com/

Wednesday, May 3, 2017

Step Down Response Aluminium Oxide Material Sensor


Pada moisture analyzer, perlu diperhatikan mengenai step down response dari sensor aluminum oxide (Al2O3). Step down response adalah respon sensor dalam membaca sample dari kondisi tinggi ke rendah. Step down response pada sensor ini relatif cukup lambat, bisa sampai 1 jam untuk mendapatkan nilai 100%. Hal ini karena karakteristik dari sensor yang memiliki desain berpori. Gambar dibawah adalah konstruksi sensor Al2O3.


Gambar lebih detail dapat dilihat pada gambar di bawah

Oleh karena, saat memilih sensor AL2O3 dari beberapa manufaktur, perhatikan step down response dari masing-masing produk. Pilihlah yang paling cepat responnya. Respon step down ini akan ditulis dalam respon T65 atau T90. T adalah time dan angka 65 atau 90 adalah persentase perubahan dari nilai awal ke nilai yang akan dituju. Contoh T90 = 3 menit, dari 10 ppm ke 0 ppm maka waktu yang dibutuhkan untuk membaca perubahan dari 10 ppm ke 1 ppm adalah 3 menit. Untuk lebih jelasnya silahkan lihat gambar dibawah ini.



Sumber gambar :
  • https://www.systechillinois.com/en/support/technologies/aluminium-oxide-moisture-sensor
  • User manual COSA Xentaur

Steam Turbine Start Up


Pada saat melakukan start up rolling steam turbin dari kecepatan nol hingga kecepatan nominal atau sampai berbeban, ada 3 hal penting yang perlu diperhatikan.


a.      First admission steam 
Pada saat steam pertama kali akan masuk ke turbin perlu memperhatikan temperatur casing turbin dan temperatur steam. Perhatian terhadap temperatur casing turbin dan temperatur steam ini berkaitan dengan masalah material termal stress yang mungkin dialami oleh steam turbine jika perlakuannya tidak sesuai. Pada steam turbine harus memiliki sensor temperatur pada casing turbine (inner dan outer). Temperatur casing ini sebagai penentu apakah turbin akan dirolling dalam kondisi cold, warm, hot atau very hot. Temperatur casing ini juga akan menentukan temperatur steam yang diijinkan untuk masuk. Jika temperatur casing dan temperatur steam tidak sama, hal ini dapat menimbulkan termal stress pada turbin. Efek dari thermal stress adalah turbin casing menjadi melengkung, kondisi melengkungnya turbin casing dapat berakibat bergesekannya moving part turbin dengan casing turbin.

Penentuan kondisi cold, warm, hot dan very hot juga mempengaruhi waktu yang dibutuhkan turbin untuk menuju kecepetan nominal. Semakin dingin turbin casing maka semakin lama proses start up menuju kecepatan nominal. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi thermal stress. Thermal stress terjadi saat jumlah steam yang banyak (otomatis akan membawa panas yang banyak pula) bertemu dengan casing turbin dengan temperatur rendah, hal ini akan menyebabkan daerah tertentu saja dari turbin yang mengalami peningkatan temperatur yang sangat cepat sedangkan bagian lain masih rendah temperaturnya. Tidak meratanya temperatur ini yang menghasilkan thermal stress.


b.      Critical speed 
Critical speed ini adalah kondisi dimana kecepatan turbin sama dengan frekuensi natural steam turbin – generator. Pada kondisi ini akan terjadi vibrasi yang cukup besar. Critical speed ini bisa terjadi pada saat turbin sedang menuju kecepatan nominal tanpa beban (jika dicouple dengan generator) atau pada beban tertentu saat steam turbin telah dibebani. Cara meminimalkan efek vibrasi ini adalah dengan mempercepat kenaikan putaran turbin saat melewati kondisi kritis ini.

c.       Heat soak/idle speed 
Heat soak atau idle speed adalah kondisi dimana kecepatan turbin ditahan pada kecepatan tertentu. Hal ini berfungsi untuk meratakan temperatur pada turbin dan juga menaikan temperatur turbin agar siap untuk disuplai steam dengan laju yang lebih besar saat melewati critical speed. 

Tuesday, May 2, 2017

Sub-Critical vs Supercritical Boiler


Hal mendasar yang membedakan sub-critical dan supercritical boiler adalah tekanan fluida yang digunakan. Pada grafik pressure vs temperature di bawah terlihat ada 2 titik merah yaitu triple point dan critical point. Critical point inilah yang menjadi pembeda antara kedua tipe boiler. Critical point adalah titik dimana antara fasa cair dan gas mulai tidak bisa dibedakan.

 

Grafik di bawah adalah model 3-D sebagai pembanding untuk melihat fasa suatu fluida secara keseluruhan.

Jika menggunakan grafik temperature vs entropy ( T-s ) maka critical point berada di ujung atas kurva garis merah, pertemuan antara garis saturated water (sisi kiri) dan saturated steam (sisi kanan).
Hasil gambar untuk critical point water steam graph 


Critical point untuk air adalah pada tekanan 217.75 atm dan temperatur 373.946 °C.

Pada sub-critical boiler proses pemanasan air menjadi steam akan mengikuti garis P3 pada grafik T-s di atas, sedangkan pada supercritical boiler maka proses pemanasan akan mengikuti grafik P4.

Pada garis P3 dan P4 terlihat perbedaan bahwa garis P4 tidak melalui area saturated water dan steam, artinya bahwa proses supercritical boiler tidak energi latent heat yang digunakan untuk memanaskan air. Hal ini menjadikan supercritical lebih efisien dalam konsumsi energi.

Latent heat yang dimaksud adalah energi yang dibutuhkan untuk mengubah air dari fasa cair ke fasa gas tanpa berakibat pada kenaikan temperatur.

Untuk mendapatkan kondisi supercritical maka  boiler harus memiliki boiler feedwater pump yang mampu menghasilkan tekanan air di atas tekanan critical point. 



Source :
- en.wikipedia.org/wiki/Phase_diagram
- www.myodesie.com

Boiler Drum Level Control


Kontrol level boiler drum dilakukan dengan 2 cara :
1.       Single element control
2.       Three element control

  
1 or 3-element control selection

Single element control digunakan pada saat steam yang diperlukan masih sedikit. Jumlah steam yang digunakan ini dibandingkan dengan kapasitas boiler drum. Pemakaian steam yang sedikit tidak terlalu banyak berpengaruh pada level air di boiler drum, sehingga single element ini lebih sesuai digunakan saat start up.

Pada saat jumlah steam yang diperlukan cukup besar dibandingkan kapasitas boiler maka akan terjadi fluktuasi yang cukup besar di level drum. Oleh karena itu, level control saja tidak cukup untuk mengimbangi kebutuhan air atau steam. Untuk mempercepat respon level control ini maka perlu ada tambahan control dari flow feedwater dan flow steam. Variabel level drum, flow feedwater dan flow steam inilah yang disebut 3 element control.
Selain tiga element tersebut, tekanan dan temperatur perlu digunakan sebagai faktor kompensasi level dan flow agar pengukuran lebih akurat.